MAKALAH
“KEDAULATAN
MASYARAKAT ADAT PAPUA”
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Konservasi
Dosen Pengampu : Edoward K.
Raunsay, S.Pd.,M.Si
Disusun
Oleh : Epit H. Magai (20160111044055)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
CENDERAWASIH
JAYAPURA
2019
BAB
I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Papua adalah provinsi terluas Indonesia yang
terletak di bagian tengah Pulau Papua atau
bagian paling timur wilayah Papua
milik Indonesia. Belahan timurnya merupakan
negara Papua Nugini. Provinsi
Papua sebelumnya bernama Irian Jaya yang mencakup seluruh wilayah Papua Bagian
barat. Sejak tahun 2003, dibagi menjadi dua provinsi dengan bagian timur tetap
memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya memakai nama Papua Barat.
Papua memiliki luas 808.105 km persegi dan merupakan pulau terbesar kedua
di dunia dan terbesar pertama di Indonesia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke empat (2011.8) adat
adalah aturan (perbuatan) yang lazim di turut atau dilakukan sejak dahulu kala;
adat itu cara kebiasaan yang merupakan wujud dari kebudayaan yang terdiri atas
nilai – nilai budaya, norma hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya
berkaitan menjadi satu sistem dan di patuhi sebagai kebiasaan atau tradisi.
Montesquieu (1689 – 1755) dalam teori relativisme kebudayaan mengatakan; “suatu
unsur atau adat dalam kebudayaan tak dapat di nilai dengan pandangan yang
berasal dari kebudayaan lain, melainkan dari sistem nilai yang pasti ada di
dalamnya sendiri”. Adat bersifat pribadi artinya suatu adat masyarakat tertentu
hanya bisa di pahami dengan mendekatkan diri pada nilai – nilai budaya yang ada
dalam masyarakat pemilik adat tersebut.
Definisi orang asli papua secara historis muncul dari pengalaman
„memory passionist‟ akan masa – masa diwaktu lalu yang penuh tantangan dan
pergulatan untuk menunjukan jati diri, sehingga dasar ini yang menjadi
konsensus bersama seluruh pemangku kepentingan di Tanah Papua untuk
mengidentifikasikan masyarakat adat papua sebagai orang asli papua, dan
terakomodir secara legal dalam sebuah perundang - undangan yang konstitusional
yaitu UU Otsus Papua. Orang Asli Papua menurut UU Otsus Papua adalah orang yang
berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku – suku asli di Papua
dan/atau yang diterima dan diakui sebagai orang asli papua oleh masyarakat
(hukum) adat papua.
Jika ditinjau dari istilah „hak ulayat‟ dalam definisi atau
referensi rujukan kata pada Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah „ulayat‟
berkait dengan wilayah dan hak. Untuk itu, maka ketika berbicara tentang hak
ulayat maka kita berbicara tentang hak patuanan (tuan dari tanah atau anak
negeri pribumi „Landlord‟). Dasar ini yang membuat sehingga orang papua sering
secara „politik‟ sosial budaya mengidentifikasi dirinya sebagai lelaki dan
perempuan yang berideologi papua di panggil dengan sebutan penghargaan
„tuan‟untuk kaum lelaki dan „puan‟ untuk kaum perempuan.
Hak ulayat atau hak patuanan (Beschhikkingsrecht) merupakan hak
pertama dari 9 hak hukum adat tanah. Hak ulayat merupakan suatu hak yang sangat
tua dan asal mulanya bersifat keagamaan ‟religius‟. Hal ini berkait dengan
teori konsep evolusi sosial universal Herbert 15
Spencer (1820 -1903) yang mengatakan bahwa pada semua bangsa di
dunia religi itu di mulai karena manusia sadar dan takut akan maut. Van
Vollehoven merumuskan Hak ulayat sebagai suatu hak yang sangat tua dan asal
mulanya bersifat keagamaan „religio – magis‟ di punyai suatu suku (stam), atau
gabungan desa (dorpsbond) atau bisa jadi hanya satu desa saja dan tidak menjadi
kepunyaan seorang individu. Malak Stepanus (2006. 38) menyatakan bahwa antara
masyarakat hukum adat dengan tanah yang diduduki terdapat hubungan erat yang
bersifat religio – magis yang menyebabkan persekutuan masyarakat adat
memperoleh hak untuk menguasai tanah. Dan hak inilah yang disebut hak ulayat
yaitu kewenangan yang menurut hukum adat di punyai oleh masyarakat hukum adat
tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya
untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah
tersebut bagi kelangsungan hidupnya yang timbul dari hubungan secara lahiriah
dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
B.
RUMUSAN MASALAH
1)
Bagaimana Pembagian Wilayah
Budaya Masyarakat Hukum Adat di Papua?
2)
Bagaimana Peran Tanah dalam
Perspektif Orang Papua?
3)
Bagaimana Peran Laut dalam
Perspektif Orang Papua?
4)
Bagaimana Aturan Adat-Istiadat
Orang Papua?
5)
Bagaimana Konflik Sosial Di
Papua?
C.
TUJUAN
1)
Untuk mengidentifikasi
pembagian wilayah budaya masyarakat hokum adat di Papua
2)
Untuk mengetahui peran tanah
dalam perspektif orang Papua
3)
Untuk mengetahui peran laut
dalam perspektif orang Papua
4)
Untuk mengetahui aturan
adat-istiadat orang Papua
5)
Untuk mengetahui konflik sosial
di Papua
BAB II PEMBAHASAN
1) Pembagian
Wilayah Budaya Masyarakat Adat Hukum di Papua
Masyarakat hukum adat
diatas Tanah Papua dibagi kedalam tujuh (7) wilayah adat budaya yaitu Wilayah I
disebut dengan wilayah adat budaya Tabi atau Mamta yang meliputi suku – suku
yang mendiami dataran sungai Mamberamo sampai Sungai Tami, Wilayah II disebut
dengan wilayah adat budaya Saireri yaitu suku – suku yang mendiami wilayah
Teluk Saireri, Wilayah III disebut dengan wilayah adat budaya Domberay yaitu
meliputi suku – suku yang mendiami daerah kepala burung, Wilayah IV disebut
dengan wilayah adat budaya Bomberai yang meliputi suku – suku yang mendiami
daerah Teluk Bintuni hingga ke Mimika, Wilayah V disebut dengan wilayah adat budaya
Ha – Anim yaitu wilayah suku – suku yang mendiami daerah antara Asmat sampai
Kondo (Merauke), Wilayah VI adalah wilayah adat budaya La Pago yang meliputi
suku – suku yang mendiami daerah pegunungan Tengah bagian Timur, dan Wilayah
VII adalah wilayah adat budaya Mee-Pago yang meliputi suku – suku yang mendiami
daerah pegunungan tengah bagian barat seperti kabupaten Paniai, Deiyai, dan
Dogiyai.
2) Peran
Tanah dalam Perspektif Orang Papua
Rata-rata
semua suku di Papua melihat tanah sebagai sumber kehidupan yang memiliki
peranan sangat penting dalam kehidupan mereka. Tanah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam kehidupan orang Papua. Maka tanah tidak hanya kepemilikan
komunitas etnis bangsa Papua, tetapi juga sebagai mama yang melahirkan
kehidupan sejati dan baik bagi setiap anggota komunitas etnis bangsa Papua.
Tanah
dipandang amat penting karena selain kepemilikan komunitas suku-suku bangsa
Papua, tanah adat juga sebagai warisan leluhur dan sejarah. Pentingnya tanah
tersebut mempengaruhi sistem kepemilikan yakni berdasarkan hak ulayat yang
sudah dibagi-bagikan menurut suku, klen dan marga. Hal ini menunjukkan bahwa
semua tanah di Papua sudah dimiliki oleh hanya orang-orang asli Papua melalui
hak ulayat masing-masing suku, klen dan marga yang ada.
Bagi
orang Papua, tanah adalah seorang mama yang sejati dan baik. Sebagai mama, ia
memilik semua realitas tanah Papua. Tanah sebagai mama yang sejati dan baik
sudah memiliki fungsi dan peranan istimewa. Keistimewaan funggsi tanah sebagai
mama ini sudah diimplementasikan dalam kehidupan mereka. Seorang mama akan
mengandung kehidupan bagi semua makhluk dan benda di Papua. Tanpa terkecuali,
kesemua realitas Papua ini dilahirkan, dijaga dan dibesarkan oleh tanah adat
mereka.
Tanah sebagai ibu yang memberikan kehidupan
mengandung suatu makna hidup sakral. Dalam membangunan kehidupan yang sejati
dan baik di tanah adat komunitas suku-suku bangsa Papua, makna sakral ini sudah
merupakan suatu pandangan bersama bagi orang asli Papua. Pandangannya dapat
disebut pandangan sakralitas tanah adat. Ada banyak rahasia yang diwariskan
mereka berdasarkan pandangan sakralitas. Konstruksi pandangan sakralitas ini
masih akan tetap aktual bagi Papua, karena esensi sakralitasnya sudah
mengandung peranannya yang begitu kuat dan penting dalam kehidupan orang Papua.
Dalam arti ini, mereka mengakui diri sebagai makhluk sakralitas karena
dilahirkan di atas dan dalam tanah sakral. Kini mereka tetap bertindak sebagai
pewaris nilai-nilai kehidupan yang sakral, sejati dan baik bagi misi Papua
damai.
Berdasarkan
pandangan sakralitas, mereka mengalami hidup yang baik dan sejati. Bahkan orang
asli Papua biasanya mengalami hidup yang sakral dan kudus. Dalam dunia
sakralitas, mereka memiliki dan mewujudkan sebuah kehidupan yang baru yakni
hidup dalam sistem nilai kekudusan Allah Papua. Dalam usaha menjadikan tanah
adat yang sejati dan baik, seorang mama bertugas dan bertanggung jawab untuk
memelihara, menjaga mereka dan memberikan makanan kepada mereka. Fungsi seorang
mama ini membuat mereka bergeraka maju pada tujuan kebaikan kehidupan dan
kekudusan Papua.
Karena
itu, kehadiran seorang mama menjadi peranan yang sentral bagi eksistensi Papua.
Sentralisasi hidup sejati, baik dan kudus di tanah adat sudah terlukis dan
terbentuk secara sistematis sejak adanya awal mula kehidupan baru serta dalam
kehidupan yang akan datang. Yang dimaksud kehidupan baru ialah kehidupan
berwajah Papua. Kehidupan yang memiliki kharakter HIDUP ke-Papua-an. Dalam
pemahaman mendasar ini, orang Papua juga melihat tanah sebagai mama bumi yang
melahirkan perdamaian Papua. Papua damai akan terwujud dari tanah konflik dan
kekerasan Indonesia hanya jika tanah adat Papua dipandang dan diperlakukan
sebagai mama perdamaian Papua yang menyatukan mereka, membebaskan dan
mendamaikan mereka secara komprehensif dan permanen. Mama yang mengandung dan
kemudian melahirkan kehidupan sejati bagi orang Papua.
Kehidupan
yang dimaksudkan adalah kehidupan manusia Papua itu sendiri dan juga kehidupan
yang dapat memberikan kehidupan bagi manusia Melanesia Papua. Mama bumi akan
mengandung makanan yang berlimpah. Kemudian, ia (tanah sebagai mama bumi)
melahirkannya untuk memberikan nilai kehidupan abadi kepada orang Papua. Bagi
orang asli Papua, tanah sebagai mama bumi menjadi sumber inspirasi, hukum dan
sumber nilai-nilai kehidupan budaya Papua.Orang asli Papua menyadari bahwa komunitas
hutan, hewan dan semua yang telah berada serta seisinya di atas tanah adalah
hasil produksi mama bumi. Mama bumi ini menjadi surga Papua di bumi. Surga bumi
hanya untuk orang Papua. Suku-suku bangsa di tempat lain tidak punya hak untuk
merampas karena di tanah adat mereka juga ada surga bumi. Tanah Papua sebagai
mama sorgawi sudah benar-benar memperlihatkan wajah Allah bagi mereka. Sehingga
orang Papua tidak melarat dan tidak kelaparan karena semuanya sudah disediakan
oleh Allah dalam dan melalui ibu bumi.Tanah adalah identitas diri orang Papua.
Identitasnya sudah melekat. Kelekatnya sudah tentunya kebangkita hidup
kesejatiaan dan kepapuan mereka sebagai satu bangsa dan ras Melanesia Papua.
Relasi antara mama bumi dan orang-orang asli Papua sudah tentunya dibangun
secara harmonis dan damai. Relasi mereka sudah terwujud dalam bentuk tindakan
hidup kasih tanpa pamrih. Hanya orang-orang asli Papua yang sudah memiliki kasih
tanpa pamrih karena sudah dibentuk oleh bumi surgawi Papua. Kasih adalah tindak
dasar dari mama bumi surga Papua. Untuk itu, kehidupan orang Papua
diaktulisasikan di atas tanah sebagai wujud pembentukan identitas diri mereka.
3) Peran
Laut Bagi Perspektif Orang Papua
Potensi perikanan di wilayah perairan Papua mencapai 23,43
persen, dari potensi perikanan nasional yang mencapai 6,4 juta ton per tahun.
Pembangunan kelautan dan perikanan yang optimal, akan dapat menampung tenaga
kerja untuk mengatasi pengangguran, peningkatan pedapatan para nelayan dan
pembudidaya ikan. Hal itu diungkapkan Penjabat Gubernur Papua, Syamsul Arief Rivai, dalam sambutan yang dibacakan
Sekretaris Daerah Merauke, Daniel Pauta, pada Rapat Kerja Teknis Perikanan,
Rabu (14/3/2012) di Merauke. Rapat itu mengambil tema "Percepatan
Pembangunan Kelautan dan Perikanan Melalui Peningkatan Produksi Dalam Rangka
Mencapai Kesejahteraan Masyarakat Nelayan dan Pembudidaya Ikan di Provinsi
Papua. Syamsul mengungkapkan, Papua memiliki panjang garis pantai lebih kurang
1.170 mil. Selain memiliki potensi kekayaan ikan melimpah, wilayah pantai juga
memiliki ekosistem hutan mangrove yang subur, dengan gugusan terumbu karang
serta aneka ragam biotik akuatik di dalamnya.
"Belum lagi potensi kelautan lainnya yang terkandung di dalamnya,
seperti energi gelombang, industri garam, bahan-bahan mineral dan
lainnya," ujarnya. Karena itu, ungkapnya, kelembagaan yang mengurusi
kelautan dan perikanan perlu ditata lebih baik. Selain itu, harus mampu merumuskan
langkah-langkah yang tepat dan strategis, dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya kelautan dan perikanan. Ini untuk meningkatkan produksi bagi
nelayan dan pembudidaya ikan di Papua.
4)
Aturan
Adat-Istiadat Papua
Ada beberapa adat-istiadat Papua adalah sebagai berikut :
a)
Pesta Bakar Batu
Pesta Bakar Batu mempunyai makna tradisi bersyukur yang
unik dan khas. dan merupakan sebuah ritual tradisional Papua yang
dilakukan sebagai bentuk ucapan syukur atas berkat yang melimpah, pernikahan,
penyambutan tamu agung, dan juga sebagai upacara kematian. Selain itu, upacara
ini juga dilakukan sebagai bukti perdamaian setelah terjadi perang antar-suku.
Sesuai dengan namanya, dalam memasak dan mengolah makanan untuk
pesta tersebut, suku-suku di Papua menggunakan metode bakar batu. Tiap
daerah dan suku di kawasan Lembah Baliem memiliki istilah sendiri untuk merujuk
kata bakar batu. Masyarakat Paniai menyebutnya dengan gapii atau ‘mogo gapii‘,
masyarakat Wamena menyebutnya kit oba isago, sedangkan masyarakat Biak menyebutnya
dengan barapen. Namun tampaknya barapen menjadi istilah yang
paling umum digunakan.
Pesta Bakar Batu juga merupakan ajang untuk berkumpul bagi
warga. Dalam pesta ini akan terlihat betapa tingginya solidaritas dan
kebersamaan masyarakat Papua. Makna lain dari pesta ini adalah sebagai ungkapan
saling memaafkan antar-warga.
Prosesi Pesta Bakar Batu biasanya terdiri dari tiga tahap, yaitu
tahap persiapan, bakar babi, dan makan bersama. Tahap persiapan diawali dengan
pencarian kayu bakar dan batu yang akan dipergunakan untuk memasak. Batu dan
kayu bakar disusun dengan urutan sebagai berikut, pada bagian paling bawah
ditata batu-batu berukuran besar, di atasnya ditutupi dengan kayu bakar,
kemudian ditata lagi batuan yang ukurannya lebih kecil, dan seterusnya hingga
bagian teratas ditutupi dengan kayu. Kemudian tumpukan tersebut dibakar hingga
kayu habis terbakar dan batuan menjadi panas. Semua ini umumnya dikerjakan oleh
kaum pria.
Pada saat itu, masing-masing suku menyerahkan babi. Lalu secara
bergiliran kepala suku memanah babi. Bila dalam sekali panah babi langsung
mati, itu merupakan pertanda bahwa acara akan sukses. Namun bila babi tidak
langsung mati, diyakini ada yang tidak beres dengan acara tersebut. Apabila itu
adalah upacara kematian, biasanya beberapa kerabat keluarga yang berduka
membawa babi sebagai lambang belasungkawa. Jika tidak mereka akan membawa
bungkusan berisi tembakau, rokok kretek, minyak goreng, garam, gula, kopi, dan
ikan asin. Tak lupa, ketika mengucapkan belasungkawa masing-masing harus
berpelukan erat dan berciuman pipi.
Di lain tempat, kaum wanita menyiapkan bahan makanan yang akan
dimasak. Babi biasanya dibelah mulai dari bagian bawah leher hingga selangkang
kaki belakang. Isi perut dan bagian lain yang tidak dikonsumsi akan dikeluarkan,
sementara bagian yang akan dimasak dibersihkan. Demikian pula dengan sayur
mayur dan umbi-umbian.
Kaum pria yang lainnya mempersiapkan sebuah lubang yang besarnya
berdasarkan pada banyaknya jumlah makanan yang akan dimasak. Dasar lubang itu
kemudian dilapisi dengan alang-alang dan daun pisang. Dengan menggunakan jepit
kayu khusus yang disebut apando, batu-batu panas itu disusun di
atas daun-daunan. Setelah itu kemudian dilapisi lagi dengan alang-alang. Di
atas alang-alang kemudian dimasukan daging babi. Kemudian ditutup lagi dengan
dedaunan. Di atas dedaunan ini kemudian ditutup lagi dengan batu membara, dan
dilapisi lagi dengan rerumputan yang tebal.
Setelah itu, nutaa (ubi jalar) disusun di
atasnya. Lapisan berikutnya adalah alang-alang yang ditimbun lagi dengan batu
membara. Kemudian sayuran berupa Nuta imoo atau daun nutaa, paakagata (daun
singkong), tenenee imoo(daun pepaya), hepanii imoo (labu
parang), dan kawakiwee imoo (jagung) diletakkan di atasnya. Tidak
cukup hanya umbi-umbian, kadang masakan itu akan ditambah dengan potongan utaa
poo (buah). Selanjutnya lubang itu ditimbun lagi dengan rumput dan
batu membara. Teratas diletakkan daun pisang yang ditaburi tanah sebagai
penahan agar panas dari batu tidak menguap.
Sekitar 60 hingga 90 menit masakan itu sudah matang. Setelah
matang, rumput akan dibuka dan makanan yang ada di dalamnya mulai dikeluarkan
satu persatu, kemudian dihamparkan di atas rerumputan. Sesudah makanan
terhampar di atas, ada orang yang akan mengambil buah merah matang. Buah itu
diremas-remas hingga keluar pastanya. Pasta dari buah merah dituangkan di atas
daging babi dan sayuran. Garam dan penyedap rasa juga ditaburkan di atas
hidangan.
Kini tibalah saatnya bagi warga untuk menyantap hidangan yang
telah matang dan dibumbui. Semua penduduk akan berkerumun mengelilingi makanan
tersebut. Kepala Suku akan menjadi orang pertama yang menerima jatah berupa ubi
dan sebongkah daging babi. Selanjutnya semua akan mendapat jatah yang sama,
baik laki-laki, perempuan, orang tua, maupun anak-anak. Setelah itu, penduduk
pun mulai menyantap makanan tersebut.
Pesta Bakar Batu merupakan acara yang paling dinantikan oleh
warga suku-suku pedalaman Papua. Demi mengikuti pesta ini mereka rela
menelantarkan ladang dangan tidak bekerja selama berhari-hari. Selain itu,
mereka juga bersedia mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar untuk membiayai
pesta ini.
Namun, kepastian titik lokasi dilaksanakannya ini tidak
menentu. Jika sebagai upacara kematian maupun pernikahan, pesta ini akan
dilaksanakan di rumah warga yang memiliki hajatan. Namun, bila upacara ini
sebagai ucapan syukur atau simbol perdamaian biasanya akan dilaksanakan di
tengah lapangan besar.
b)
Tradisi Potong Jari
Tradisi potong jari
ini terjadi di Papua, kesedihan saat telah ditinggal pergi oleh orang yang
dicintai dan kehilangan salah satu anggota keluarga sangat perih. Berlinangan
air mata dan perasaan kehilangan begitu mendalam. Terkadang butuh waktu yang
begitu lama untuk mengembalikan kembali perasaan sakit kehilangan dan tak
jarang masih membekas dihati. Lain halnya dengan masyarakat pegunungan
tengah Papua yang melambangkan kesedihan lantaran kehilangan salah satu anggota
keluarganya yang meninggal tidak hanya dengan menangis saja. Melainkan ada
tradisi yang diwajibkan saat ada anggota keluarga atau kerabat dekat seperti;
suami,istri, ayah, ibu, anak dan adik yang meninggal dunia. Tradisi yang
diwajibkan adalah tradisi potong jari. Jika kita melihat tradisi potong jari
dalam kekinian pastilah tradisi ini tidak seharusnya dilakukan atau mungkin
tradisi ini tergolong tradisi ekstrim. Akan tetapi bagi masyarakat pegunungan
tengah Papua, tradisi ini adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan. Mereka
beranggapan bahwa memotong jari adalah symbol dari sakit dan pedihnya seseorang
yang kehilangan sebagian anggota keluarganya.Bisa diartikan jari adalah symbol
kerukunan, kebersatuan dan kekuatan dalam diri manusia maupun sebuah keluarga.
Walaupun dalam penamaan jari yang ada ditangan manusia hanya menyebutkan satu
perwakilan keluarga yaitu Ibu jari. Akan tetapi jika dicermati perbadaan setiap
bentuk dan panjang memiliki sebuah kesatuan dan kekuatan kebersamaan untuk
meringankan semua beban pekerjaan manusia. Satu sama lain saling melengkapi
sebagai suatu harmonisasi hidup dan kehidupan. Jika salah satu hilang, maka
hilanglah komponen kebersamaan dan berkuranglah kekuatan
c)
Upacara Tanam Sasi
(Papua Barat , Marauke)
Di suku Marin, Kabupaten Merauke, terdapat upacara Tanam Sasi,
sejenis kayu yang dilaksanakan sebagai bagian dari rangkaian upacara kematian.
Sasi ditanam 40 hari setelah kematian seseorang dan akan dicabut kembali
setelah 1.000 hari. Budaya Asmat dengan ukiran dan souvenir dari Asmat terkenal
hingga ke mancanegara. Ukiran Asmat memiliki empat makna dan fungsi,
masing-masing:
1)
Melambangkan kehadiran
roh nenek moyang;
2)
Untuk menyatakan rasa
sedih dan bahagia;
3)
Sebagai lambang
kepercayaan dengan motif manusia, hewan, tumbuhan dan benda-benda lain.
4)
Sebagai lambang
keindahan dan gambaran memori nenek moyang
d)
Upacara Perkawinan
Perkawinan merupakan kebutuhan yang paling mendesak bagi semua
orang. Dengan demikian masyarakat Papua baik yang di daerah pantai maupun
daerah pegunungan menetapkan peraturan itu dalam peraturan adat yang intinya
agar masyarakat tidak melanggar dan tidak terjadi berbagai keributan yang tidak
diinginkan. dalam pertukaran perkawinan yang di tetapkan orangtua dari pihak
laki-laki berhak membayar mas kawin seebagai tanda pembelian terhadap perempuan
atau wanita tersebut. adapun untuk masyarakat pantai berbagai macam mas kawin
yang harus dibayar seperti: membayar piring gantung atau piring belah, gelang,
kain timur (khusus untuk orang di daerah Selatan Papua) dan masih banyak lagi.
berbeda dengan permintaan yang diminta oleh masyarakat pegunungan diantaranya
seperti: kulit bia (sejenis uang yang telah beredar di masyarakat pegunugan
sejak beberapa abad lalu), babi peliharaan, dan lain sebagainya. dalam
pembayaran mas kawin akan terjadi kata sepakat apabila orangtua dari pihak
laki-laki memenuhi seluruh permintaan yang diminta oleh orangtua daripada pihak
perempuan.
5)
Konflik Sosial di Papua
Konflik kekerasan di Papua pada umumnya disebabkan adanya
kondisi sosial yang timpang antara masyarakat asli Papua dengan masyarakat
migran yang datang dari luar Papua, sebagai akibat dari adanya kekeliruan
kebijakan pembangunan di Papua yang berlangsung lama, sebagai berikut:
a)
Terjadinya Eksploitasi
Sumber Daya Alam (SDA) Eksploitasi SDA telah menampilkan suatu ketidakadilan,
berdasar fakta-fakta masyarakat Papua, pemegang hak adat atas SDA tidak
dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, padahal semua konsekuensi
negatif pasti dipikul oleh mereka bukan oleh pengambil keputusan. SDA merupakan
sumber penghidupan utama bagi mereka dengan batas-batas pemilikan, pengakuan,
dan penghargaan yang jelas dan tegas di antara para pemegang hak adat.
Akibatnya, masyarakat menjadi penonton dan terasing di tanahnya sendiri.
Masyarakat Papua sebagai komunitas lokal tidak dapat berpartisipasi dalam
pembangunan ekonomi, karena memang tidak dipersiapkan, dilatih, dan diberi
kesempatan. Sebagai contoh: Kasus pengalihan hak atas tanah untuk keperluan
transmigrasi telah mengurangi bahkan menghilangkan sumber-sumber ekonomi
keluarga. Masyarakat kehilangan binatang buruan sebagai sumber protein, kayu
untuk bangunan, kayu api, rusaknya ekosistem lokal sebagai sumber protein yang
mendukung kehidupan masyarakat lokal, hilangnya sagu sebagai sumber karbohidrat
bagi masyarakat. Eksploitasi tambang juga memberi dampak negatif yang besar
buat penduduk lokal. Sebagai contoh: kasus Freeport, limbah tailing, telah
mencemari sumber-sumber ekonomi seperti Moluska, sumber protein masyarakat
Kamoro-Sempan di Omawita.
b)
Dominasi Migran di
Berbagai Bidang-Bidang Kehidupan Perlakuan yang kurang tepat terhadap
masyarakat Papua juga terjadi dalam bidang pemerintahan, dan proses-proses
politik. Sadar atau tidak, selama pemerintahan Orde Baru, orang Papua kurang
diberikan peran dalam bidang pemerintahan. Posisi-posisi utama selalu diberikan
kepada orang luar dengan dalih orang Papua belum mampu. Walaupun untuk sebagian
peran, dalih itu mungkin ada benarnya, tetapi pada umumnya untuk mencekal orang
Papua. Seleksi ketat yang dikenakan terhadap orang Papua dilatarbelakangi oleh
kecurigaan dan tuduhan terhadap semua orang Papua sebagai OPM. Dominasi
masyarakat pendatang bukan hanya pada sektor pemerintahan saja, tetapi juga
pada sektor swasta. Pada kegiatan di sektor industri manufaktur yang
memanfaatkan eksploitasi sumber daya alam (SDA) sebagai bahan baku lebih banyak
menggunakan tenaga kerja dari luar, seperti antara lain pabrik Plywood PT.
Wapoga, Pabrik Pengalengan Ikan di Biak dan pabrik Pengalengan Ikan PT. Usaha
Mina di Sorong. Sektor perbankan juga didominasi oleh pekerja dari kaum
pendatang.
c)
Penyeragaman Identitas
Budaya dan Pemerintahan Lokal Secara singkat, pengembangan SDM justru tidak
berpijak pada pengetahuan dan kearifan lokal. Menyadari ancaman terhadap
eksistensi orang Papua, tokoh seperti Arnold Ap berusaha untuk menggali dan
mengembangkan unsur-unsur budaya lokal. Tetapi, kelihatannya penguasa melalui
aparat militer melihatnya secara sempit dan dipahami sebagai ancaman. Arnold Ap
dibunuh dengan cara yang melukai hati orang Papua khususnya dan kemanusiaan
pada umumnya. Dominasi dan penindasan tersebut, menjadikan identitas dan
nasionalisme Papua makin mantap menopang tuntutan Papua Merdeka.
d)
Tindakan Represif oleh
Militer Penindasan militer di tanah Papua meliputi beberapa bentuk, antara lain
intimidasi, teror, penyiksaan, dan pembunuhan. Intimidasi, teror dan penyiksaan
dilakukan berkenaan dengan pengambilalihan hak-hak adat masyarakat Papua atas
SDA secara paksa untuk berbagai keperluan, seperti HPH, transmigrasi,
pertambangan, dan industri manufaktur maupun jasa wisata. Ketika penduduk asli
berusaha mempertahankan hak-haknya atas SDA mereka diintimidasi dan diteror.
BAB III PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Masyarakat hukum adat
Papua terbagi menjadi 7 wilayah yaitu : Saireri yaitu wilayah Biak, Serui dan
Nabire Pesisir. Meepago yaitu wilayah Intan Jaya, Paniai, Deiyai, dan Dogiyai.
Laapago yaitu wilayah Wamena dan sekitarnya. Tabi yaitu wilayah Memberamo,
Sarmi dan Jayapura. Ha-anim yaitu wilayah Asmat dan Merauke. Domberai yaitu
wilayah Kaimana dan Fak-Fak. Bomberai
yaitu wilayah Sorong dan Manokwari. Peran tanah dan laut bagi orang Papua
adalah mama dan ayah karena dengan hasil dari tanah dan laut dapat memberi
makanan bagi orang papua. Ada beberapa adat istiadat orang Papua yaitu, Upacara
bakar batu, potong jari, upacara perkawinan dan lain. Konflik sosial yang
terjadi di Tanah Papua adalah eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan
dan hak-hak masyarakat adat kadang tidak
dilibatkan, sehingga terjadi konflik, banyaknya imigran dari luar Papua yang
masuk ke wilayah Papua yang menyebabkan orang Papua kurang diberi peran dalam
bidang pemerintahan maupun yang lainnya, kemajuan orang Papua dibidang kesenian
dan yang lainnya selalu dipandang secara sempit akhirnya terjadi tindakan
reperesentif oleh Militer.
B.
SARAN
Seharusnya sebagai
orang Papua harus memahami hukum adat di Papua dengan menjaga dan melindungi
tanah dan laut kita sebagai mama kita. Agar anak dan cucu kita bisa menikmati
seperti sekarang di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
<
Andreas. J. Deda. Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Ulayat Di Provinsi Papua Barat Sebagai
Orang Asli Papua Di Tinjau Dari Sisi Adat Dan Budaya; Sebuah Kajian Etnografi
Kekinian. Jayapura. 2015.
Posting Komentar